Surabaya ,http://kabarhits.id
Sidang perkara dugaan pemalsuan surat, dengan nomor Perkara 56/Pid.B/2025/PN.Sby.
yang mendudukan
Notaris Dadang
Koesboediwitjaksono,SH.,
Sidang yang dipimpin Majelis Hakim Saifudin Zuhri,S.H., M.Hum., sidang yang beragendakan pemeriksaan saksi digelar diruang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (18/2/2025).
Sidang kali ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) Deddy Arisandi,SH., MH., dari Kejaksaan Negeri Surabaya kembali dihadirkan dua Saksi yaitu Prof. DR. Bambang Susilo dan Prof. Dwi Budi Santoso, SE, P.hd., keduanya diperiksa bersamaan.
Menurut keterangan saksi di Persidangan antara lain
Prof. DR. Bambang Susilo dan Prof. Dwi Budi Santoso, SE, P.hd. Ketika saksi diperiksa tentang Akta Notaris no. 157 tahun 2008, saksi Bambang Susilo mengakui bahwa ikut ambil bagian di dalamnya atas dasar undangan atau perintah dari alm. KH Abdullah Sattar terhadap santri-santri pilihan yang ditunjuk untuk berkumpul dan menandatangani minuta akta yang dibuat oleh Notaris Dadang tersebut sebagai bentuk ketaatan seorang santri kepada guru ngajinya.
Dan saksi juga mengetahui bahwa akta itu adalah untuk pendirian yayasan yang bernama Yayasan Dorowati. “Mengenai nama lengkap dari yayasan tersebut saya tidak terlalu ingat,” ucapnya.
Dalam hal ini saksi Dwi Budi Santoso juga memberi keterangan yang sama, namun ada tambahan keterangan bahwa saksi juga diajak oleh alm. Prof. Muslich yang ditunjuk dan tercantum sebagai Ketua Yayasan di akta tersebut dan merupakan pamannya.
Saksi Bambang Susilo dan saksi Dwi Budi Santoso menegaskan bahwa benar telah membubuhkan tanda tangan pada akta no. 157 tahun 2008 setelah ditunjukkan bukti di hadapan Majelis Hakim oleh JPU dan Kuasa Hukum Terdakwa.
Terkait Akta no. 34 dan no. 63 tahun 2011 kedua orang saksi tersebut mengaku tidak pernah melihat dan menanda tangani akta tersebut. Yang mereka ketahui akhir- akhir ini ada konflik internal mengenai yayasan, namun apa wujud kongkrit konfliknya mereka juga tidak paham. Dan mereka tahu namun tidak kenal baik dengan Pelapor Tuhfatul Mursalah sebagai adik kandung alm. KH Abdullah Sattar.
“Tidak kenal, baru bertemu dengan pelapor (Tuhfatul Mursalah) ketemunya saat berkunjung ke rumah Prof. Muslich (paman saksi),” akunya Saksi Dwi Budi Santoso.
Pada saat JPU bertanya kepada kedua orang saksi apakah mereka pernah diminta menghadap kembali ke Notaris untuk urusan Akta Renvoi atau akta no. 34 dan 63 tahun 2011, kedua orang saksi menjawab tidak pernah dan juga ada keraguan tentang paraf yang ada di akta yg dimaksud oleh JPU meskipun saat ditunjukkan bukti di hadapan Majelis Hakim, kedua orang saksi tetap berkeyakinan bahwa mereka tidak pernah melihat akta no 34 dan no 63 tahun 2011, tidak pernah menandatangani akta-akta tersebut.
“Bahwa dengan demikian tidak terbukti adanya tanda tangan yang dipalsukan,” tegas penasehat hukum terdakwa dihadapan Majelis.
Tanggapan terdakwa atas pertanyaan JPU kesaksian dan keterangan saksi mengenai paraf dan renvoi waktu penandatangannan Akta no.157 tahun 2008.
” Penandatangannan Akta no. 157 tahun 2008, dengan adanya Renvoi dan Paraf itu di hari yang sama,” jelas Dadang dipersidangan .
“Bukan di hari yang berbeda,” tambahnya.
Hal tersebut diakui oleh para saksi dan diterangkan juga oleh terdakwa pada saat terdakwa diberi kesempatan untuk memberi sanggahan terkait keterangan para saksi.* Red