Sidang Perdana Effendi Pudjihartono Selaku Komisaris PT Kraton Restro

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email

 

Surabaya,http://kabarhits.id
Effendi Pudjihartono, selaku Komisaris CV Kraton Resto Group , menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (13/1/2025).

Dalam sidang ini, Effendi didakwa diduga memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik yang menyebabkan kerugian sebesar 998 juta.

Saat membacakan surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Siska Christina mengungkapkan bahwa perbuatan terdakwa Effendi telah merugikan Ellen Sulityo, mitra kerja sama dalam pengelolaan lahan di Jalan Dr Sutomo No 130, Surabaya..

JPU Siska menjelaskan, pada 2017 terdakwa Effendi mendapatkan hak sewa atas lahan milik Kodam V/Brawijaya berdasarkan Perjanjian Sewa Pemanfaatan Aset TNI AD dengan Pangdam V/Brawijaya. Perjanjian ini mengatur bahwa pemanfaatan lahan akan berlangsung selama 30 tahun, namun dibagi ke dalam enam periode, masing-masing berdurasi lima tahun.

Setiap periode harus diperbarui melalui proses evaluasi dan persetujuan oleh Kodam V/Brawijaya serta Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). “Periode pertama berlangsung dari 28 September 2017 hingga 28 September 2022, dengan perjanjian sewa nomor SPK/05/XI/2017 yang telah disetujui KPKNL pada November 2017,” terangnya.

Namun sebelum periode pertama berakhir, pada Agustus 2022 terdakwa Effendi mewakili CV Kraton Resto Grup mengajukan permohonan perpanjangan untuk periode kedua. Akan tetapi proses perpanjangan tidak disetujui oleh Kodam V/Brawijaya, yang kemudian mengeluarkan surat resmi pada Mei 2023 menyatakan bahwa terdakwa Effendi tidak lagi memiliki hak atas lahan tersebut. “Meski demikian, sekitar Juli 2022, terdakwa Effendi menyampaikan kepada Ellen Sulityo bahwa dirinya masih memiliki hak pengelolaan lahan hingga tahun 2047,” ungkap JPU Siska.

Terdakwa Effendi mengajak Ellen untuk bekerja sama membuka restoran Sangria by Pianoza di lokasi tersebut. Pada 27 Juli 2022, keduanya menandatangani Akta Perjanjian Pengelolaan di hadapan Notaris Ferry Gunawan. “Dalam akta tersebut, terdakwa Effendi mengklaim dirinya sebagai Direktur CV Kraton Resto Group yang memiliki hak sewa atas lahan selama 30 tahun tanpa menjelaskan bahwa perjanjian sewa harus diperbarui setiap lima tahun,” bebernya.

Usai menandatangani akta perjanjian pengelolaan, kemudian korban mengeluarkan biaya sebesar Rp 998 juta, dengan rincian Rp 330 juta ditransfer langsung ke terdakwa Effendi, biaya renovasi Rp 353 juta, dan biaya operasional pembukaan restoran sebesar Rp 314 juta. “Namun pada 12 Mei 2023, restoran tersebut tidak dapat beroperasi karena Kodam V/Brawijaya menyatakan bahwa lahan tersebut telah dikembalikan kepada negara. ,” tegas JPU Siska.

JPU dari Kejari Surabaya ini menjelaskan bahwa apa yang disampaikan terdakwa Effendi kepada Ellen yang dituangkan dalam Akta Nomor 12 tanggal 27 Juli 2022 tentang Akta Perjanjian Pengelolaan tidak sesuai dengan fakta. “Terdakwa Effendi selaku Direktur CV Kraton Resto Group menguasai lahan tersebut selama 30 tahun adalah keterengan tidak benar atau palsu, karena faktanya terdakwa Effendi adalah selaku Komisaris CV Kraton Resto Group dan hanya berhak untuk menyewa lahan tersebut sampai dengan bulan November 2022. Terdakwa Effendi tidak pernah menyampaikan fakta yang sebenarnya kepada Ellen jika perjanjian sewa selama 30 tahun tersebut ada periodesasinya setiap 5 tahun dan setiap periode harus ada perjanjian tersendiri,” paparnya.

Akibat perbutan terdakwa Effendi, Ellen mengalami kerugian sebesar Rp 998 juta. “Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 266 ayat (1) KUHP dan pasal 378 KUHP,” pungkasnya.

Usai surat dakwaan dibacakan, tim kuasa hukum terdakwa Effendi mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada majelis hakim. Atas permohonan tersebut, majelis hakim menyatakan akan mempertimbangkannya dan menjadwalkan sidang lanjutan dengan agenda eksepsi.
Nurdin, ketua tim kuasa hukum terdakwa Effendi menyebutkan, terdapat poin-poin dalam dakwaan yang dianggap tidak benar atau tidak konsisten. “Ada perbedaan antara uraian dalam dakwaan pertama dan dakwaan kedua. Misalnya, terkait kerugian dan perbuatan-perbuatan terdakwa yang tidak tercantum dalam dakwaan pertama, tapi muncul di dakwaan kedua. Kami juga mempertanyakan kronologi mana yang sebenarnya benar,” ungkapnya.
Ia menekankan, perkara ini seharusnya masuk ke ranah perdata, bukan pidana, karena terkait perjanjian kerja sama. “Ini sebenarnya lebih ke perkara perdata. Bahkan saat ini ada dua perkara perdata yang sedang berjalan. Apakah benar klien kami melakukan tindak pidana penipuan dan pemalsuan seperti yang didakwakan, itu kan bisa dibuktikan di perkara perdata tersebut,” tambahnya.* Rjt

Berita Terkait

Scroll to Top